Minggu, 15 September 2013

KONTROVERSI PERILAKU DALAM “GERHANA”

Published by SMASA on Minggu, 15 September 2013  | 1 comment

KONTROVERSI PERILAKU DALAM “GERHANA”
(analisis teks dan konteks bahan ajar mata pelajaran bahasa Indonesia)
Oleh: J. Talitha


Di awal diterapkannya Kurikulum 2013 di jenjang pendidikan SMP, tiba-tiba cerpen “Gerhana” karya Mohamad Ali banyak dibicarakan orang. Isinya dianggap kontroversi oleh beberapa pengamat pendidikan. Agaknya memang tepat jika isi cerpen tersebut dianggap penuh kontroversi. Masalahnya sederhana—hanya pohon pepaya milik Sali yang ditebang oleh istrinya. Sali marah, Sali kecewa, Sali tidak terima, Sali melaporkan peristiwa itu kepada Kepala Desa, Staf Kecamatan, dan Pak Polisi. Semua yang dilakukan Sali tidak sesuai harapannya. Sampai akhir cerita Sali tidak tahu kalau istrinya yang menebang pohon papaya itu.  Sali meninggal, istrinya menyesal.
Sepele sekali problem yang dijadikan objek dalam cerpen tersebut. Namun ada banyak hal yang patut terus dikontroversikan dari cerpen Mohamad Ali yang satu ini. Cerpen terebut termasuk isi lampiran buku Wajib bagi siswa SMP kelas VII ini. Ada beberapa bentuk komunikasi yang ditunjukkan oleh Mohamad Ali melalui dialog tokoh utama Sali. Konsep hukum sederhana yang dipahami oleh Sali menjadi pijakan terjadinya berbagai dialog Sali dengan beberapa tipe dan karakter manusia dari berbagai kelompok masyarakat. Ada dialog yang anggun terjadi di masyarakat pada umumnya dan ada dialog dalam tuturan khas anak remaja dalam gurauan dalam menyelesaikan masalah. Tampak juga dialog yang terasa kurang baik, yakni tuturan umpatan oleh seorang tokoh polisi dalam cerita itu.
Sali berkeyakinan bahwa semua yang terjadi jika merugikan atau mengganggu orang lain harus diproses secara hukum. Ia pun melaporkan peristiwa penebangan pohon pepaya miliknya kepada kepala desa setelah mendapat saran dari tetangganya. Ketika Sali menyampaikan bahwa pohon pepaya itu sama seperti manusia, sama-sama makhluk Tuhan, mempunyai nyawa, Kepala Desa berpendapat lain. Hal itu dianggapnya terlalu membesar-besarkan masalah. Hati Sali kurang sependapat dengan Kepala Desa. Walaupun Sali marah ia masih dapat menahan diri dan Sali tetap berkata santun kepada Kepala Desanya. Ia menyadari betul bagaimana ia harus memilih kata-kata agar Kepala Desanya tidak tersinggung. Sali mampu melakukan itu, tentu dengan upaya menahan diri sambil terus menyampaikan pendirian dan obsesinya tentang nasib pohon pepayanya.
Mohamad Ali juga menyuguhkan gambaran variasi komunikasi yang disampaikan oleh para pejabat yang berwenang, yaitu Kepala Desa, Staf Kecamatan, dan Pak Posisi. Kepala Desa mempunyai pemikiran yang lebih luas dalam menghadapi masalah warganya. Ia lebih mementingkan ketenteraman umum dari pada hanya sekedar urusan sebatang pohon pepaya. Staf kecamatan – yang kebetulan masih remaja—menanggapi laporan Sali sebagai bahan gunjingan. Ia menganggap itu adalah hal yang tidak penting. Tetapi Sali pun menyadari hal itu. Ia merasa tidak perlu menanggapi omongan anak-anak muda di Kantor Kecamatan itu. Mana mungkin Sali harus lapor kepada Mahkamah Agung atau bahkan PBB hanya urusan sebatang pepaya.
Tampilan Sali yang selalu santun dalam berkomunikasi dengan pihak berwenang perlu mendapat perhatian dari para pembaca cerpen ini. Agaknya Mohamad Ali sengaja menyodorkan fakta itu kepada para pembaca atau bahkan orang-orang dari berbagai kalangan dan berbagai profesi – utamanya para pengamat pendidikan atau bahkan hal itu merupakan ironi untuk para politisi yang suka bertutur tidak santun saat muncul dalam diskusi di televisi.
Ketika Sali di Kantor Polisi dan ia menyampaikan laporan nasib pohon pepayanya, Sali mendapatkan kata-kata yang sekarang menjadi perhatian banyak pihak. Di tempat itu muncul kata-kata “Bangsat! Kurang Ajar! Bajingan!”  Tuturan komunikasi yang seperti itu merupakan contoh tindak tutur yang kurang santun. Tetapi jika dilihat teks dan konteks tuturan tersebut sebenarnya tidak ada masalah. Itu adalah tuturan orang yang marah, tuturan orang yang lepas kendali emosinya, dan lagi ini adalah karya rekaan yang berupa cerita pendek.
Mengapa tidak masalah? Ya, kosa kata tersebut ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata bangsat ada di halaman 102 yang berarti kutu busuk; orang yang bertabiat jahat, misalnya suka mencuri, mencopet; orang jembel; miskin. Sementara itu kata bajingan ada di halaman 92 yang berarti penjahat; pencopet. Semua itu adalah kosa kata baku dalam bahasa Indonesia yang penggunaannya ada pada konteks orang marah atau bertengkar dan mengumpat.
Bagaimana dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP yang faktanya cerpen “Gerhana” ini ada di dalam buku wajib mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas VII? Yang terjadi adalah heboh luar biasa. Lebih-lebih di beberapa stasiun TV secara bergantian mengungkapkan masalah itu. Ada yang mengecam habis Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, ada yang meminta agar buku itu segera ditarik dari sekolah. Ada yang meminta cerpen tersebut dirobek dan dihilangkan dari buku buku wajib siswa. Menanggapi itu semua Kemendikbud juga mendapat tambahan pekerjaan. Lebih-lebih para pengamatnya sangat banyak. Ada yang dari guru, ada yang dari DPR, dan ada yang dari masyarakat umum. Mereka semua kompak memojokkan pemerintah, khususnya Kementerian Dikbud, yang sudah memberlakukan Kurikulum 2013.
Sebenarnya penggunaan kosa kata “bangsat” dalam bahan ajar bahasa Indonesia sudah muncul sejak diberlakukannya kurikulum tahun 1996. Kosakata tersebut terdapat di halaman 180 buku Terampil Berbahasa Indonesia 3 untuk kelas III SMA untuk semua program. Buku tersebut merupakan buku paket yang diproduksi oleh pemerintah dan dicetak oleh Balai Pustaka, diberlakukan untuk seluruh siswa SMA di Republik Indonesia. Penulis buku tersebut adalah Bapak Imam Syafi’i dan Bapak A. Syukur Ghazali. Beliau adalah pakar ilmu Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang. Kata “bangsat” dalam buku tersebut digunakan dalam tuturan kemarahan seorang Letnan Bastian kepada Kapten Murtomo dalam sebuah dialog drama “Bunga-Bunga Bangsa” karya Emil Sanossa. Kala itu tidak ada heboh sama sekali.
Seharusnya bagaimana? Yang baik ya harus hati-hati dan teliti serta mampu menahan diri. Semua itu ada hikmahnya. Kosa kata yang dijadikan kontroversi itu tentu ada dalam kehidupan berbahasa sehari-hari di masyarakat pemakai bahasa. Para siswa tentu pernah mendengar, pernah mengetahui kosa kata tersebut digunakan oleh pemakai bahasa pada situasi tertentu. Faktanya memang begitu. Coba saja bertanya kepada para siswa, pernahkan anak-anak menemukan atau mendengar kata-kata bangsat dan bajingan digunakan orang. Sepertinya anak-anak, khususnya di tanah Jawa sering menemukan penggunaan kosa kata tersebut.
Pembelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013 itu berbasis teks dan konteks. Artinya siswa akan memahami dan menggunakan tindak berbahasa sesuai teks dan konteks, baik lisan maupun tulis. Siswa perlu memahami struktur teks tertentu dan selanjutnya siswa akan menggunakan tindak berbahasa sesuai dengan teks dan konteks. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia akan selalu ada tahapan observasi terhadap berbagai teks dan tindak berbahasa yang ada di dalam suatu teks. Jika faktanya di dalam teks ada tuturan yang tidak baik dan ada tuturan yang baik, maka kedua hal itu tepat jika dijadikan bahan observasi oleh siswa. Siswa akan mempertanyakan berbagai temuan saat observasi. Selanjutnya siswa akan melakukan proses kristalisasi pengetahuan hasil observasi. Setidaknya siswa dapat mengklasifikasi beberapa tindak tutur yang baik dan beberapa tindak tutur yang kurang baik. Kemudian siswa mengkomunikasikan kesimpulannya dalam tuturan tertentu sesuai rancangan pembelajaran yang sudah diskenariokan oleh guru. Itulah yang dinamakan pendekatan saintifik dalam kurikulum 2013, yang selanjutnya guru tinggal mengarahkan pada pemahaman sikap social dan sikap keagamaan yang sesuai dengan rancangan pembelajaran.
Isi cerpen “Gerhana” karya Mohamat Ali ini tampaknya berupa gambaran cara berkomunikasi yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang Indonesia. Tokoh Sali menjadi tokoh sentral dalam membawakan harapan Mohamad Ali. Agaknya ini pun takdir Tuhan, bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum 2013 di kelas VII SMP se-Republik ini nama Mohamad Ali diingat dan dibicarakan lagi. Untuk para guru bahasa Indonesia SMP kelas VII, sudahkah Anda membaca karya Mohamad Ali – “Gerhana” – Jika belum, bacalah!
Cerpen “Gerhana” karya Mohamad Ali dijadikan sebagai bahan ajar memang kurang tepat dipermasalahkan apabila tujuannya untuk menggagalkan pemberlakuan Kurikulum 2013 di SMP. Tetapi, jika seseorang ingin bersikap kritis terhadap Kurikulum 2013, ya sah-sah saja. Yang harus terjadi sekarang adalah guru lebih memperkaya bahan ajar bagi para siswanya, baik itu teks berupa karya fiksi maupun teks berupa nonfiksi. Yang ada di dalam buku teks hanyalah salah satunya, bukan satu-satunya. Selamat dan sukses Kurikulum 2013, jadikan anak bangsa ini lebih bermartabat di masa mendatang.


J. Talitha adalah nama pena dari Drs. Jarimin, M.Pd.
Ketua MGMP SMA Kab. Bondowoso

Filed in : ,

1 komentar:

Created by brama
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top